Teruslah Berkarya, Meski AI Mengguncang Dunia !

Sumpah, fotonya bukan produk Ai !.

Di tengah gegap gempita zaman yang dijejali algoritma, di mana Artificial Intelligence merangsek masuk ke segala lini kehidupan, sebuah seruan membahana dari relung nurani manusia: 
"Tetaplah berkarya meski AI sedang meraja!".

Bukan ratapan putus asa. Bukan isak menyerah. Tapi kobaran semangat yang menolak tunduk pada dinginnya logika buatan!

AI boleh saja memproduksi tulisan dalam hitungan detik, menyusun paragraf rapi dan mendeteksi tren viral dengan presisi mengagumkan. 

Tapi satu hal yang tak akan pernah mampu diciptakannya: rasa. 

AI tak pernah menulis dengan tangan gemetar karena emosi yang meluap. Ia tak tahu bagaimana rasanya menahan air mata saat menuliskan kisah kehilangan, atau dada yang bergemuruh saat mengungkapkan cinta dan luka.

Di balik lensa, AI bisa menyusun komposisi visual yang sempurna. 

Tapi ia tak pernah mengambil gambar sambil menahan tawa karena momen lucu yang tak terduga, atau merekam video sambil waswas apakah subjeknya akan selamat dari lompatan frame yang ekstrim atau gangguan objek yang tiba-tiba ada ketika foto hendak dicetak. 

"AI tidak pernah takut. Tidak pernah gembira. Tidak pernah jatuh cinta."

Hari ini, kita melihat AI menguasai ruang-ruang yang dulu menjadi habitat para penulis, videografer, dan fotografer. 

Mereka dipaksa bertanya dalam diam, “Apakah aku masih dibutuhkan?”. 

Tapi jangan biarkan keresahan menjelma jadi keputusasaan. Sebab apa yang kita miliki lebih dari sekadar keahlian teknis—kita punya jiwa. Dan dari jiwalah lahir karya yang bukan hanya enak dibaca atau ditonton, tapi menggetarkan hati.

Produk AI bisa terlihat sempurna, tapi seperti makanan tanpa garam, ia hambar dan kaku. 

Tak ada kejutan, tak ada nuansa batin. Di balik semua kecanggihan, AI tetaplah mesin yang dingin. 

Sedang manusia—dengan segala kelemahan dan kelebihannya—adalah pencipta rasa, penenun makna, dan penjaga emosi.

Barangkali, ledakan popularitas AI hari ini tak lebih dari euforia sesaat. Seperti mainan baru yang menyenangkan di awal, tapi lama-lama membuat bosan. 

Faktanya, tak sedikit orang yang mulai merasa jengah. Di salah satu unggahan saya, seorang netizen berkata terus terang, “Makin lama, makin memuakkan AI ini”. 

Dan mungkin, itu adalah suara dari banyak hati yang belum berani bersuara.

Maka, jangan padamkan bara semangatmu. Teruslah menulis, memotret, merekam, mencipta. 

Biarkan dunia tahu: karya manusia bukan sekadar produk—ia adalah pantulan jiwa. Dan itu, tak akan pernah bisa digantikan mesin, betapapun canggihnya.

Tetaplah berkarya. Dunia masih butuh hatimu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama