![]() |
Gambar oleh Ai |
Manusia dengan penuh kebanggaan telah mencatat kemajuan luar biasa di bidang otomotif.
Mereka menciptakan kendaraan listrik yang digembar-gemborkan
sebagai solusi ramah lingkungan, seakan-akan dunia telah menemukan jawaban atas
krisis iklim.
Setiap hari, kendaraan listrik melaju mulus di atas
jalan-jalan aspal kota.
Pengemudi menikmati kenyamanan kabin hening, sementara
penumpang merasa lega karena tidak mencium bau asap pembakaran.
Tidak ada suara mesin yang bising, tidak ada jejak karbon
yang terlihat. Semuanya tampak ideal.
Mereka menggali nikel, litium, dan kobalt dari gunung yang
dulu hijau. Mereka menebang hutan dan mengeruk tanah demi satu tujuan: memberi
daya pada baterai.
Di Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, dampaknya sudah sangat terasa.
Menurut data dari Badan Geologi Kementerian ESDM (2023),
Indonesia memiliki sekitar 25% dari total cadangan nikel dunia, dan sebagian
besar berada di Sulawesi. Namun, produksi besar-besaran ini tidak datang tanpa
harga.
Di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, perluasan kawasan
industri nikel untuk mendukung industri baterai kendaraan listrik telah merusak
ribuan hektare hutan tropis.
Greenpeace Indonesia melaporkan bahwa sejak 2015, aktivitas tambang nikel di Sulawesi telah mengakibatkan pencemaran sungai, longsor, dan konflik lahan dengan masyarakat adat.
Sungai-sungai berubah warna karena lumpur tambang. Bahkan,
di Konawe Utara, ratusan hektare lahan pertanian warga gagal panen akibat
sedimentasi dan pencemaran limbah tambang.
Tanpa disadari, satu unit kendaraan listrik bisa jadi telah menelan seluruh kawasan hutan tropis. Penambangan yang brutal meratakan gunung, mengusir satwa liar, dan meracuni air tanah.
Sayangnya, pengemudi dan penumpangnya jarang, atau bahkan
tidak pernah, menyaksikan langsung kehancuran itu. Mereka hanya melihat mobil
bersih dan modern, tanpa jejak kotoran.
Lebih ironis lagi, manusia telah menukar oksigen dengan
logam. Mereka telah mengorbankan pohon demi tegangan listrik.
Hutan yang seharusnya menjaga suhu bumi kini telah musnah.
Gunung yang semestinya menampung air kini menjadi cekungan tambang yang kering
dan gersang.
Akibatnya, bumi mulai melawan. Manusia menghadapi kekurangan
pangan karena tanah kehilangan kesuburannya. Suhu udara meningkat karena
hilangnya peneduh alami.
Banjir melanda karena air hujan tidak lagi diserap akar
pohon. Rumah-rumah pun hancur diterjang bencana yang diciptakan sendiri.
Dengan dalih masa depan hijau, manusia justru menghijaukan
masa depan dengan ilusi. Teknologi seharusnya menyelamatkan bumi, bukan
mengorbankannya.
Tetapi jika arah kemajuan terus seperti ini, maka kendaraan
listrik hanya akan menjadi simbol dari ironi besar: membunuh alam demi
menyelamatkan planet.
Hari ini kita berteriak save Raja Ampat. Lalu, apakah Sulawesi tidak usah di-save ?.